Rabu, 29 Agustus 2018

Aneka Ragam Adat Kebudayaan Asal Minang Kabau (Tugas Seni Budaya)


TUGAS KELOMPOK SENI BUDAYA

TRADISI DAERAH SEKITAR TEMPAT TINGGAL(MINANGKABAU)


DISUSUN OLEH:

AULIA FIKA DEWI
HAYATUL MARDIAH
NADILA FEBRIANA
NURUL FITRIYANA
TIARA ANNISA

 XII AKUNTANSI 1

SMK NEGERI 1 PADANG PANJANG  
TAHUN AJARAN 2018/2019



"ANEKA RAGAM TRADISI MINANG KABAU DI DAERAH SEKITAR TEMPAT TINGGAL"



A. TRADISI DARI PADANG PANJANG

1. Tradisi Pernikahan

Dalam melangsungkan pernikahan, orang suku Minang harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu :
Kedua calon harus sama-sama beragama Islam
Kedua calon tidak berasal dari suku yang sama
Kedua calon dapat saling menghormati dan menghargai orang tua dan keluarga besar kedua belah pihak
Calon suami telah memiliki sumber penghasilan untuk menghidupi keluarga

Setelah itu, bila semua syarat sudah terpenuhi maka terdapat beberapa tradisi yang dilakukan oleh suku Minang, diantaranya :

a. Maresek

Pada tahap ini pihak keluarga wanita akan mendatangi pihak keluarga pria dengan membawa sejumlah buah tangan. Tujuan dari Maresek adalah pihak keluarga wanita akan mencari tahu kecocokan calon mempelai pria dengan calon mempelai wanita.

b. Maminang/ Batimbang Tando

Pada tahap ini keluarga wanita akan mendatangi calon keluarga pria untuk meminang. Bila dalam proses peminangan ini pihak pria menerima, maka akan diteruskan dengan tahap Batimbang Tando sebagai simbol perjanjian dan kesepakatan antar kedua belah pihak. Kedua keluarga akan saling menukarkan benda-benda pusaka yang dimilikinya, seperti keris, kain adat atau barang-barang lain yang dianggap berharga oleh keluarga.


c. Mahanta Siriah


Calon mempelai pria dan calon mempelai wanita akan mengabarkan kabar pernikahan kepada para mamak (sebutan untuk laki-laki tertua dalam keluarga) dan seluruh kerabat keluarga. Proses mahanta Siriah ini biasanya dilakukan dengan tradisi membawa tembakau untuk calon mempelai pria dan sementara untuk calon mempelai wanita dengan membawa sirih lengkap. Biasanya keluarga yang didatangi akan ikut membantu pembiayaan pernikahan.

d. Babako-babaki

Bako adalah sebutan bagi pihak keluarga ayah dari calon mempelai wanita. Tradisi ini biasa dilangsungkan beberapa hari sebelum akad nikah. Calon mempelai wanita akan dijemput oleh keluarga ayah dan dibawa kerumah. Kemudian para tetua dan sesepuh akan memberikan nasihat. Keesokan harinya, calon wanita akan diantarkan pulang kembali dengan membawa beberapa barang pemberian seperti seperangkat busana, perhiasan emas, maupun beberapa bahan pangan baik yang sudah matang atau masih mentah.

e. Malam Bainai


Kegiatan ini dilakukan pada malam akad nikah berlangsung. Tradisi ini berupa memandikan calon mempelai wanita dengan air kembang sebagai simbol membersihkan diri. Setelah itu, calon mempelai wanita akan dihias kuku dan tangannya dengan daun pacar sebagai simbol keindahan.

f. Manjapuik Marapulai


Prosesi ini merupakan puncak tradisi dimana calon mempelai pria akan dijemput untuk diantar ke rumah calon mempelai wanita. Akad nikah akan dilangsungkan di rumah calon mempelai wanita. Keluarga calon mempelai wanita yang datang menjemput membawa perlengkapan lengkap seperti pakaian pengantin pria lengkap, sirih, nasi dan lauk dan beberapa hantaran lain. Setelah menyampaikan maksud kedatangan, maka mempelai pria akan langsung diarak menuju rumah calon mempelai wanita.

g. Penyambutan di rumah anak Daro

Sesampainya calon mempelai pria dirumah calon mempelai wanita, maka calon mempelai pria akan disambut dengan meriah. Terdapat beberapa pemuda berpakaian silat yang akan menyambut dengan tari gelombang adat timbal balik yang diiringi musik khas Minang. Tari gelombang adat timbal balik ini adalah khas untuk menyambut mempelai pria 
Selanjutnya terdapat para dara yang akan menyambut dengan perlengkapan sirih. Para sesepuh wanita kemudian menaburi calon mempelai pria dengan beras kuning. Kemudian kaki calon mempelai pria akan dibasuh dengan air sebagai simbol pensucian sebelum menuju ke tempat akan nikah.

h. Prosesi akad Nikah

Akad nikah dilakukan sesuai dengan syariat Islam dengan didahului pembacaan ayat Al Quran. Setelah itu dilakukan ijab qabul yang disaksikan oleh para saksi. Kemudian ditutup dengan do’a dan nasihat dari para tetua.

i. Basandiang di Pelaminan


Kedua mempelai akan bersanding di rumah anak Daro (mempelai wanita). Kedua mempelai kemudian duduk bersandingan untuk menerima para tamu yang hadir dan biasanya terdapat hiburan musik di halaman rumah untuk memeriahkan acara.

Tradisi Pasca Akad Nikah

Setelah akad nikah selesai, terdapat beberapa tradisi yang dilakukan oleh Suku Minang, diantaranya :
a. Mamulangkan Tando, mengembalikan tanda yang dipertukarkan pada tahap Maminang.
b. Malewakan Gala Marapulai, yakni memberikan nama dan gelar baru bagi pengantin pria sebagai simbol kedewasaan.
c. Balantuang Kaniang, menyentuhkan kening kedua pengantin pria dan wanita.
d. Mangaruak Nasi Kuniang, tradisi berebut daging ayam yang disembunyikan di dalam nasi kuning. Dilakukan oleh kedua pengantin sebagai simbol kerjasama antara suami dan istri.
e. Bamain Coki, melakukan permainan tradisional Minang semacam catur sebagai simbol mempererat kekeluargaan.

2. Maantaan Pambukoan




Yaitu tradisi mengantarkan makanan pembukaan atau biasa disebut takjil pada bulan Ramadhan ke rumah orang tua dari pihak laki-laki (Mintuo) dan saudara laki-laki dari pihak perempuan (Mamak). Biasanya tradisi ini dilakukan oleh pihak perempuan dengan membawa makanan berupa lapek bugih, lamang tapai ataupun makanan pembuka puasa lainnya dengan menggunakan rantang. Kemudian, pihak laki-laki akan mengisi atau mengembalikan rantang tersebut dalam keadaan sudah berisi beras sebagai ucapan terima kasih atau simbol menghargai.

3. Tagak Batu



(Tradisi Tagak Batu pada zaman dahulu dilakukan di daerah sekitar pemakaman)

Yaitu tradisi makan bersama di dekat kuburan keluarga yang meninggal yang sedang disemen. Caranya cukup mudah, hanya dengan membawa nasi beserta lauk-pauk ke daerah pemakaman dan melakukan makan bersama seperti biasa. Namun, seiring berjalannya waktu, tradisi ini mulai mengalami perubahan karena banyaknya kaum ulama yang tidak menyetujui tradisi makan bersama di pemakaman ini. Hal ini dikarenakan tradisi tersebut tidak sesuai dengan ajaran Islam. Sekarang, tradisi tagak batu tersebut masih dilestarikan walaupun mengalami perubahan yaitu melakukan makan bersama hanya dirumah yang bersangkutan, bukan di daerah pemakaman seperti dulu.


(Tradisi Tagak Batu di zaman sekarang setelah mengalami perubahan)

4. Randai


Randai merupakan salah satu permainan tradisional dari Minangkabau. Dalam permainan ini sekelompok pemain akan berdiri membentuk lingkaran kemudian berjalan perlahan-lahan. Masing-masing menyampaikan nyanyian yang bercerita. Hingga sekarang belum ada asal usul pasti mengenai randai. Konon permainan ini berasal dari 5 buah perguruan silat di Sumatera Barat. Gerakan utama dalam permainan ini adalah silek (silat) yang dipadukan dengan cerita, musik, dan sebagainya. Ada yang menganggap bahwa permainan randai berawal dari permainan yang dimainkan sekelompok anak muda perguruan silat. Itu karena silat terdiri atas gerakan yang dinamis dan indah. Randai dipimpin oleh seotrang ketua pemain yang disebut tukang goreh. Selain bertugas untuk memandu jalan permainan, tukang goreh juga punya tugas penting lainnya, salah satunya mengeluarkan teriakan yang menjadi ciri khas permainan randai. Dalam satu kali pertunjukan randai, biasanya ada lebih satu pemimpin. Tujuannya adalah agar bisa menggantikan pemimpin lain jika kelelahan. Biasanya anak-anak Sumatera Barat akan melakukan permainan ini saat ada acara adat/ acara penting



B. TRADISI DARI NAGARI SUMPUR

Batanggak Tonggak Tuo


Nagari Sumpur di Batiputih Selatan, Kabupaten Tanah Datar, merupakan kawasan yang masih memiliki banyak rumah gadang. Dulunya ada lebih dari 200 rumah gadang, tapi hancur dan terbakar semasa pergolakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia). Kini hanya tersisa 68 buah. Pada pertengahan Mei dua tahun lalu, lima rumah gadang kembali hangus terbakar karena korsleting listrik.

Saat ini wilayah ini telah menjadi daerah konservasi sebagai salah satu daerah warisan budaya Minangkabau. Beberapa yang terbakar dan telah runtuh ada yang dibangun kembali dengan cara atau metode lama, seperti saat pertama kali rumah gadang itu dibangun di zaman dahulu.

Pada dasarnya, ada beberapa tahap atau proses yang selalu diindahkan dalam pembanguan rumah gadang di Minangkabau, yaitu. Tahap pertama adalah prosesi memilih pohon. Menurut Yusman, Kepala Urusan Pembangunan Nagari Sumpur, material kayu yang digunakan untuk membangun rumah gadang diantaranya adalah kayu jua untuk tonggak, kayu surian, dan bambu untuk rusuk dan pengisi dinding, serta kayu bayua untuk lantai.

Tahap kedua adalah prosesi maelo tonggak yaitu menarik batang pohon bersama-sama dari hutan ke lokasi pembangunan di kampung yang dapat memupuk spirit kebersamaan warga. Sementara itu, fondasi bangunan berupa batu-batu datar di permukaan tanah yang akan menopang tonggak struktur juga disiapkan. 

Tahap ketiga adalah prosesi batagak tonggak tuo yaitu mendirikan struktur bangunan yang terdiri dari 42 buah tiang utama. Acara ini mengandung banyak hal penting diantaranya adalah pidato tetua kampung, di mana interpretasi isinya merupakan semacam acuan untuk membangun rumah gadang.

Setelah struktur dengan sistem knock down ini berdiri, bagian lantai dan dinding mulai diisi sedangkan isi ruang dalam cenderung terbuka tanpa dinding penyekat kecuali untuk kamar-kamar tidur. Terakhir adalah prosesi “naik atap” yaitu membangun konstruksi dan penutup atap.

Hal unik lain yang harus diperhatikan dalam pembangunan rumah gadang adalah daya tahan terhadap tanah di Minang yang rawan gempa dan material yang mudah terbakar. Karena itulah, setiap langkah dalam proses didokumentasi agar pusaka dan pengetahuan ini dapat dipelajari lagi serta dilestarikan oleh generasi muda.

Di Minangkabau, rumah gadang merupakan rumah pusaka yang dimiliki kaum perempuan sesuai dengan sistem kekerabatan matrilineal masyarakat Minangkabau. Rumah gadang menjadi tempat untuk melangsungkan acara-acara adat dan acara penting lainnya, seperti batagak gala atau acara pengangkatan datuk, upacara kelahiran, serta pesta perkawinan.

Bangunan rumah gadang di Nagari Sumpur memanjang dari utara ke selatan. Ini dimaksudkan untuk membebaskannya dari panas matahari dan terpaan angin. Sedangkan bagian depannya ada yang menghadap ke timur dan barat.

Yang paling menarik adalah bangunan yang memiliki anjung karena banyak ukiran pada dindingnya. Beberapa motif ukirannya khas Minang, seperti motif kaluak paku, daun bodi, saik ajik, dan siriah gadang. Tapi ada juga ukiran dengan motif mahkota Belanda dari mahkota Ratu Belanda Wilhelmina. Jejak berupa ukiran mahkota Belanda itu diduga karena adanya kedekatan pimpinan masyarakat Nagari Sumpur dengan pemerintah Belanda masa itu.

Rumah Gadang di Nagari Sumpur sudah mulai menerima tamu yang menginap, tapi untuk rombongan harus dipesan terlebih dulu. Untuk melihat-lihat rumah gadang dan budaya masyarakat, mereka sangat terbuka karena kawasan ini sudah ditetapkan menjadi “Warisan Budaya Nasional” pada 2013.



TRADISI DARI BATIPUH

Bakayu




     Bakayu adalah sebuah tradisi yang sudah dari dulu dilakukan oleh warga Batipuh.Tradisi ini merupakan tradisi ritual dimana warga sekitar akan pergi ke rumah keluarga jenazah 1 hari setelah pemakaman jenazah tersebut.Laki-laki yang akan mendatangi keluarga yang berduka membawa rokok dan yang Perempuan membawa beras dalam wadah yang bernama "Bangkiah" dan beberapa lauk.
      
Asal kata "Bakayu" dari Bahasa Minang "Berkayu",karena zaman dahulu,masing-masing tamu laki-laki membawa sepotong kayu yang besar saat mengunjungi rumah keluarga yang berduka,namun sekarang kayu besar tersebut sudah diganti dengan sebatang rokok.Tamu laki-laki dan keluarga laki-laki si jenazah akan duduk di pinggir jalan sambil berdoa untuk jenazah yang dipimpin oleh seorang Ustadz yang telah diundang.Setelah berdoa,semua tamu serta keluarga yang berduka makan bersama dalam rumah tersebut.

Bakayu dan Mangampiang adalah salah satu tradisi yang berasal dari nagari Batipuah Ateh Kecamatan Batipuah Kabupaten Tanah Datar. Tradisi ini tidak hanya dilakukan oleh golongan tua, bahkan mulai dibiasakan pada anak muda sehingga tradisi ini masih terus dipertahankan di tengah era yang modern ini. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan kegiatan dan makna simbolik yang terkandung dalam tradisi Bakayu dan Mangampiang di Nagari Batipuah Ateh, Kecamatan Batipuah, Kabupaten Tanah Datar dan untuk mendeskripsikan keberadaan tradisi Bakayu dan Mangampiang dalam menghadapi tantangan di tengah era yang modern ini. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan menggunakan analisis semiotika Roland Barthes untuk menganalisa makna simbolik tradisi Bakayu dan Mangampiang nagari Batipuah Ateh Kecamatan Batipuah Kabupaten Tanah Datar. Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah kontstruktivis. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam, observasi dan dokumentasi. Informan diambil dengan cara snowball sampling. Untuk menguji keabsahan data digunakan triangulasi sumber. Berdasarkan penelitian diketahui bahwa makna simbolik tradisi bakayu dan mangampiang terdapat makna denotasi, konotasi dan mitos. Makna kegiatan bakayu adalah sikap gotong royong. Kegiatan manyiriah rokok maknanya adalah saling bermaafan. Sedangkan makna kegiatan mangampiang adalah saling tolong menolong. Tradisi ini dapat tercermin sikap duka cita dan bela sungkawa, sikap saling tolong menolong, mengasihi, menghormati, menjunjung serta mengingat jasa-jasa leluhur. Usaha untuk mempertahankan keberadaan tradisi ini dalam menghadapi tantangan di tengah era yang modern ini diantaranya adalah melalui Kerapatan Adat Nagari (KAN) Batipuah Ateh dan dari pihak kecamatan adalah pameran kebudayaan di tingkat kabupaten. Kata kunci : Makna Simbolik, Bakayu, Mangampiang, Takziah.




Sumber : Google dan Hasil Observasi





Tidak ada komentar:

Posting Komentar